*Tegakkan Implementasi Konsep “Bali Mawacara” dengan Berpedoman pada “Desa Mawacara” Awig-Awig dan Dresta Masing-masing Desa Adat di Bali
Denpasar (Spotbalinews) –
Salah satu implementasi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Perda Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali, adalah kewenangan Majelis Desa Adat dalam konteks implementasi Bali Mawacara terhadap pelaksanaan Proses Ngadegang Bandesa Adat, Kelihan Adat, atau sebutan lain Desa Adat Se-Bali. Hal itu diungkapkan Bandesa Agung, Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet, didampingi Patajuh Bandesa Agung Bidang Kelembagaan, Dr. Made Wena, pada acara Jumpa Pers Berkenaan Dengan Kewenangan Majelis Desa Adat bersama, Sabtu (23/01/2021) di Renon.
–
Lanjutnya, secara teknis lebih dipertegas dengan terbitnya Surat Edaran Majelis Desa Adat Provinsi Bali Nomor 006/SE/MDA-Prov Bali/VII/2020 prihal Edaran Tentang Proses Ngadegang Bandesa Adat atau Sebutan Lain dalam Tatanan Kehidupan Era Baru pada Masa Pandemi Covid -19 tanggal 20 Juli 2020.
Dalam surat edaran tersebut telah diatur dengan cukup jelas, beberapa hal penting dalam proses Ngadegang Bandesa Adat, Kelian Adat atau Sebutan Lain antara lain mencabut Surat Edaran MDA Provinsi Bali nomor 002/SE/MDA-Prov Bali/IV/2020, tanggal 4 April 2020 prihal Penundaan Proses Ngadegang Bandesa Adat atau Sebutan lain dan selanjutnya menerbitkan ketentuan umum proses Ngadegang Bandesa Adat atau Sebutan lain yang mengacu pada Awig-Awig di Desa Adat Setempat dan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali.
Dalam pelaksanaan Ngadegang Bandesa Adat atau Sebutan Lain, Majelis Desa Adat di semua tingkatan baik Kecamatan, Kabupaten, maupun Provinsi telah melakukan peran pendampingan langsung dan membuka ruang konsultasi tahap demi tahap sebagai bagian dari tanggung jawab serta pelaksanaan peran, fungsi, tugas, dan kewenangan Majelis Desa Adat sendiri sebagaimana termuat dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali.
Mitigasi yang dilakukan lebih kepada memastikan bahwa dalam proses Ngadegang Bandesa Adat atau Sebutan Lain telah sesuai dengan Awig-Awig Desa Adat masing-masing, sebagai implementasi dari Desa Dresta di Desa Adat tersebut serta ketentuan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Perda 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali.
Ngadegang Prajuru Desa Adat wajib dilaksanakan sesuai dengan Desa Dresta yang termuat dalam Awig-awig Desa Adat, yang diputuskan dan disahkan oleh Paruman Desa Adat, sebagai wujud implementasi DESA MAWECARA. Sedangkan dalam rangka memberikan pengakuan terhadap Implementasi Desa Mawecara dalam Ngadegang Prajuru Desa Adat di masing-masing Desa Adat diterbitkanlah SK Pengakuan atau Pengukuhan oleh MDA Provinsi Bali, sebagai wujud implementasi BALI MAWECARA.
Bahwa Sejak dideklarasikannya MDA Bali pada 6 Agustus 2019, mulai dilakukan inventarisasi terhadap pengadministrasian pengakuan keprajuruan Desa Adat di Bali. Variasi temuannya, ada Desa adat yang SK nya diterbitkan oleh dirinya sendiri, Ada yang diterbitkan oleh Sabha Desanya, ada yang diterbitkan oleh Perbekel, ada yang diterbitkan oleh Camat, atau perangkat pemerintah lainnya, bahkan ada yang tidak memiliki SK sama sekali, hanya surat keterangan dari dirinya sendiri.
Adanya variasi atas pengakuan prajuru tentu merupakan sebuah kelemahan hukum adat yang harus dilakukan penyempurnaan, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan melalui pendekatan BALI MAWECARA oleh Majelis Desa Adat.
Proses tersebut secara umum berjalan dengan baik dan lancar, di mana dari jumlah keseluruhan Desa Adat sebanyak 1.493 Desa Adat di Bali, terdapat 1.400 Desa Adat mendapatkan SK Pengakuan atau SK Pengukuhan sesuai pengajuan dengan rincian sebagai berikut :
a. Desa Adat yang SK Pengakuan atau Pengukuhan, sebelumnya telah diterbitkan oleh Majelis Agung Desa Pekraman (MADP) atau Majelis Madya Desa Pekraman (MMDP) sebanyak 650 dinyatakan tetap berlaku;
b. Desa Adat yang sebelumnya belum memiliki SK Pengakuan Majelis dan telah mengajukan permohonan SK Pengakuan Prajuru Desa Adat sebanyak 500 Desa Adat, dan telah disetujui serta diterbitkan oleh Majelis Desa Adat Provinsi Bali
c. Desa Adat yang mengajukan SK Penetapan dan Pengukuhan Prajuru Desa Adat sebagai hasil atas proses Ngadegang Prajuru mulai tahun 2020, sebanyak 250 Desa Adat, telah disetujui oleh Majelis Desa Adat sebanyak 235 Desa Adat, dan 15 di antaranya masih perlu melengkapi syarat administrasi.
Adapun 15 Desa Adat yang belum memperoleh SK Penetapan dan Pengukuhan, lebih diakibatkan karena kurangnya syarat administrasi berdasarkan ketentuan Pedoman Ngadegang Bandesa Adat, Kelian Adat dan Sebutan Lain Desa Adat sebagai lampiran dari Surat Edaran Nomor 006/SE/MDA-Prov Bali/VII/2020 prihal Edaran Tentang Proses Ngadegang Bandesa Adat atau Sebutan Lain dalam Tatanan Kehidupan Era Baru pada Masa Pandemi Covid -19, tanggal 20 Juli 2020, atau masih terjadi permasalahan (kapiambeng) internal Desa Adat sehingga harus menunggu proses penyelesaian.
Penyelesaian permasalahan (kapiambeng) di internal Desa Adat, yang tidak mampu diselesaikan berdasarkan mekanisme yang berlaku di Desa Adat itu sendiri, bila sampai pada tahapan mawicara (berperkara secara adat) dapat diajukan kepada Majelis Desa Adat Kecamatan, sesuai kewenangan pada tahap awal bersifat penyelesaian melalui proses mediasi yang didampingi Majelis Desa Adat Kabupaten/Kota dengan cara musyawarah mufakat.
Pada tahap selanjutnya, jika proses mediasi di tingkat Majelis Desa Adat Kecamatan tidak mampu menemukan kesepakatan, maka dilanjutkan ke tahap penyelesaian wicara (perkara adat) di tingkat Kabupaten/Kota melalui Keputusan Sabha Kerta yang dimulai dengan proses Panureksan atau pemeriksaan administratif dan substantif. Dalam proses ini, jika diperlukan, maka dilaksanakan pemeriksaan faktual di lapangan.
Dalam tahapan ini, kembali dilakukan mediasi dan upaya untuk mengakhiri permasalahan dengan perdamaian berdasarkan mekanisme musyawarah mufakat. Selanjutnya jika proses di tingkat Majelis Desa Adat Kabupaten tidak mampu menemukan kata sepakat, maka dilaksanakan mekanisme melalui proses Penyelesaian Wicara di Sabha Kerta Majelis Desa Adat Tingkat Provinsi yang keputusannya bersifat final dan mengikat.
Dalam hal tertentu, dimungkinkan juga Majelis Desa Adat Provinsi untuk langsung menyelesaikan wicara melalui keputusan dengan proses pengambilan keputusan yang melibatkan Majelis Desa Adat Kecamatan dan Majelis Desa Adat Kabupaten/Kota.
Ketika permasalahan tersebut sudah masuk dalam mekanisme penyelesaian Wicara di Sabha Kerta, guna menjaga netralitas dan independensi maka jajaran Prajuru (Pengurus) Majelis Desa Adat tidak diperkenankan memberikan komentar atau pendapat atas substansi wicara, kecuali dalam kaitan panureksan (pemeriksaan) dan/atau panepas wicara (pengambilan keputusan atas perkara adat) pada Sabha Kerta Majelis Desa Adat.
Dalam hal ini, diharapkan juga semua pihak yang mengajukan dan terkait dalam proses wicara agar menahan diri, tidak melakukan tindakan maupun mengeluarkan wacana yang bisa memancing kegaduhan. Masing-masing pihak agar mengikuti dan menunggu proses penyelesaian wicara tersebut.
Majelis Desa Adat melalui seluruh proses berdasarkan aturan dan kewenangan yang diberikan, saat ini sejatinya secara terus menerus melakukan upaya keras untuk mengembalikan Desa Adat pada tatanan Catur Dresta (pandangan dari empat dimensi), yakni: Purwa/Kuna Dresta (pandangan atau tradisi yang sudah berlaku sebelumnya), Sastra Dresta (pandangan susastra-susastra tertulis), Desa Dresta (tradisi desa setempat), dan Loka Dresta (ketentuan umum yang berlaku) sebagai bagian dari kedudukan, tugas, dan wewenang Majelis Desa Adat sesuai dengan Bab XI Pasal 72-80 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali.
Hal ini diimplementasikan langsung melalui keputusan dan pedoman yang dikeluarkan Majelis Desa Adat Provinsi Bali yang menegaskan setiap proses pengambilan kebijakan harus dilaksanakan melalui mekanisme Musyawarah Mufakat (gilik-saguluk, parasparo) berdasarkan Awig-Awig yang berlaku.
Majelis Desa Adat juga mendorong pengakuan terhadap “keunikan” Desa Adat tertentu di Bali sebagai bagian dari kekayaan dan warisan leluhur Bali yang tidak bisa diubah serta merta oleh siapa pun tanpa melalui sebuah proses yang benar dan sesuai dengan Awig-Awig tersebut. Misalnya, dalam penyebutan Bandesa Adat yang secara jelas dan tegas dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali serta Surat Edaran maupun Pedoman yang diterbitkan oleh Majelis Desa Adat Provinsi Bali, juga dimungkinkan penyebutan lain, seperti Kelian Desa, Keliang, Kubayan, Panyarikan Desa, Paduluan, atau sebutan lain yang berlaku berdasarkan Dresta setempat.
Di sisi lain, Majelis Desa Adat Provinsi Bali juga menjadi sentral kebijakan dalam melindungi Catur Dresta dalam konteks Bali Mawacara berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Desa Adat. Salah satu contohnya adalah peran Majelis Desa Adat dalam Membatasi Kegiatan dan Pengembanan Sampradaya Non – Dresta Bali di Bali sebagai sebuah tanggung jawab besar menjaga warisan leluhur terhadap adat istiadat yang dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu di Bali.
Hal ini yang belum secara jelas dipahami oleh pihak – pihak yang memberikan pendapat tentang peran dan fungsi Majelis Desa Adat Provinsi Bali tanpa mendalami lebih jauh tentang kedudukan, fungsi, peran, serta kebijakan strategis yang dilakukan Majelis Desa Adat Provinsi Bali, sehingga menimbulkan persepsi keliru kalangan tertentu. (Rls)