Denpasar (Spotbalinews) –
Lesunya pariwisata dan ekonomi masyarakat Bali yang drastis menurun akibat pandemi Covid-19 di Bali, berdampak luas pada hotel-hotel berbintang dan restoran yang biasanya ramai pengunjung akhirnya berujung menutup usahanya. Belum bisa dipastikan kapan pandemi berakhir, namun saat inilah momentum tepat untuk dilakukan reorientasi pariwisata Bali.
Akademisi Fakultas Ekonomi (FE) Undiksha Singaraja I Putu Gede Parma, S.St. Par., M.Par., mengatakan seperti apa pola meyakinkan kembali wisatawan domestik dan mancanegara untuk berkunjung ke Bali, tentu saja ini penting dipikirkan pemerintah, praktisi, akademisi, dan masyarakat desa adat guna memacu ekonomi ke depan yang lebih kompetitif.
“Mereorientasi visi pariwisata Bali agar lebih kompetitif di tengah gerak dan upaya juga untuk meyakinkan wisatawan untuk mau berkunjung berlibur ke Bali. Termasuk juga mereorientasi pasar mancanegara yang tidak saja tawaran keamanan untuk berkunjung yang kita berikan, tetapi juga kepastian keamanan kesehatan dari negara wisatawan tersebut berasal termasuk tawaran atraksi, produk yang bisa kita jual kepada mereka dengan mengedepankan orientasi kesehatan dan keamanan,” kata Parma, Kamis (18/2) kemarin.
Parma menjelaskan masyarakat dapat mengembangkan sektor-sektor unggulan lain yang juga kompetitif untuk bisa menopang pertumbuhan ekonomi termasuk juga pembukaan lapangan kerja, seperti sektor pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan yang selama ini agak ditinggalkan oleh angkatan kerja atau pemuda kita. Namun dalam pengembangan sektor-sektor tersebut perlu juga ada daya ungkit yang diberikan pemerintah seperti melalui pelatihan-pelatihan dasar bertani, bantuan penyediaan lahan garap yang mana bisa menggunakan lahan milik pemerintah, penyediaan atau subsidi bibit, pembantuan pengawasan pada tahap proses produksi, termasuk pengawalan pada pasca produksi melalui pembantuan konsep pemasaran baik di dalam maupun ke luar negeri.
“Menguatkan strategi pengembangan industri ekonomi kreatif termasuk isu-isu yang yang berkaitan dengan ekonomi kreatif, seperti estetika, branding, berbagai model bisnis (seperti rantai nilai atau value chain), sistem informasi dan jaringan, kebudayaan, manajemennya, online dan industri digital, kebijakan perusahaan, statistik publik, piranti lunak (software), bisnis start up, perpajakan, dan desain,” jelas Kandidat Doktor S3 Ilmu Pendidikan Undiksha ini.
Baginya di Indonesia sendiri jenis industri kreatif yang fokus ingin dikembangkan adalah periklanan atau advertising, arsitektur, pasar barang dan seni, kerajinan atau craft, desain, fashion, video film, dan fotografi, permainan interaktif, game, music, seni pertunjukan, showbiz, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, software, televisi dan radio broadcasting, riset dan pengembangan R&D, hingga kuliner.
“Mengapa industri ekonomi kreatif ini layak dikembangkan?, dikarenakan industri ini memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan, menciptakan iklim bisnis yang positif, membangun citra dan identitas bangsa serta daerah, berbasis kepada sumber daya yang terbarukan, menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif suatu bangsa, serta memberikan dampak sosial yang positif selain dampak ekonominya,” imbuhnya.
Harapannya industri ini tidak hanya semata menjadi ‘brand yang keren’, namun implementasi pergerakan industrinya agar benar-benar membumi khususnya pada level Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Bali, tidak semata pada skala perusahaan dengan kekuatan modal yang besar melalui pemberian stimulus usaha. UMKM sebagai salah satu penopang dari pertumbuhan ekonomi selama ini perlu mendapat perhatian, insentif yang tepat guna, serta tepat sasaran dalam menjaga asa semangat dari masyarakat secara luas.
Penyatuan ‘frekwensi rasa’ dalam menghadapi pandemi ini maha penting termasuk di dalamnya menjaga kondusivitas sosial agar energi kita dalam ‘berperang’ melawan pandemi ini tidak habis sia-sia untuk hal-hal yang tidak produktif.
“Dengan prediksi pertumbuhan ekonomi Bali pada Tahun 2021 yang sangat optimis, yaitu berkisar antara 4,5% hingga 5,5% tentu menyelipkan rasa tanggung jawab Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang tinggi untuk dapat mewujudkannya, dan tanggung jawab ini tentu saja tidak dipikul sendirian oleh pemerintah namun perlu adanya sinergitas, kerja sama, kolaborasi, koordinasi, motivasi dan semangat kebersamaan yang tinggi, rasa kesetiakawanan social, bela Negara di antara segenap elemen masyarakat, baik itu tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, NGO, pihak pengusaha swasta, investor, akademisi, generasi muda, angkatan kerja, wirausahawan muda serta institusi-institusi terkait dalam mewujudkannya,” tandasnya. (Ist)