Denpasar (Spotbalinews) –
Demi meningkatkan rasa cinta tanah air, persatuan dan kesatuan serta meningkatkan rasa kebanggaan atas peranan perempuan dalam perjuangan rakyat Bali, Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Monumen Perjuangan Rakyat Bali menggelar sarasehan dengan tema peranan perempuan dalam perjuangan rakyat Bali, Rabu (30/06/2021), bertempat di monumen Bajra Sandi, Renon.
Dalam sarasehan ini menghadirkan 2 narasumber, yakni Ketua LSM Bali Sruti, Dr. Luh Riniti Rahayu dan Dosen ISI Denpasar, Dr. Drs. I Gusti Ngurah Seramasara, M.Hum, dengan moderator Ibu Diah.
Menurut Ketua LSM Bali Sruti, Dr. Luh Riniti Rahayu, hingga kini banyak dikeluhkan perempuan Bali dan ditakuti perempuan non Bali untuk menjadi perempuan Bali. “Karena dianggap beban perempuan Bali itu ganda, bahkan multi beban. Jadi dianggap begitu berat,” ujarnya.
Lanjut wanita yang juga menjabat sebagai Ketua Forum Perempuan Lintas Agama ini, tidaklah benar demikian. Malah menjadi perempuan Bali itu membanggakan. Selain itu, katanya, perjuangan menyetarakan gender belum selesai. Kartini masa kini masih harus berjuang agar kedudukannya bisa setara. Tak sedikit perempuan Bali yang masih mengalami diskriminasi sebagai masyarakat adat.“Kami berinisiatif mengangkat kedudukan perempuan Bali saat ini. Perempuan Bali sekarang banyak yang sudah maju, berpendidikan, bahkan ada yang sudah bisa jadi manager Bank hingga bupati,” katanya. Tapi masih ada hal-hal yang belum setara. Seperti bagaimana kedudukan perempuan Bali yang berubah status kastanya karena menikah beda kasta. Atau perempuan Bali yang memilih untuk tidak menikah. Masih banyak hal-hal yang perlu diperjuangkan untuk mencapai gender.
Menurut Luh Riniti Rahayu, perempuan dapat disebut sebagai pengampu keluarga. Pengabdian perempuan tanpa pamrih, mulai dari melahirkan anak, seperti “megantung bok akatih”. Kemudian, menyusui anaknya, mengasuh dan mendidik anaknya. Perempuan juga bekerja membantu perekonomian keluarga sehingga disebut juga multitasking, sehingga sering pula disebut perempuan adalah manager RT.
Pihaknya berharap dengan digelarnya sarasehan selama empat hari mulai tanggal 25, 28 sampai dengan 30 Juni 2021 ini peran perempuan pada perjuangan rakyat Bali, media maupun peserta bisa mensosialisasikan peranan perempuan serta keberadaan UPTD Monumen Perjuangan Rakyat Bali yang tergambar pada diorama kepada masyarakat luas supaya tercapainya tingkat kunjungan masyarakat ke Museum Monumen Perjuangan Rakyat Bali.
Sementara itu, Dosen ISI Denpasar, Dr. Drs. I Gusti Ngurah Seramasara, M.Hum, mengungkapkan, peranan perempuan sebenarnya sudah ada pada jaman penjajahan Belanda. Contohnya, Istri I Gusti Ketut Jelantik yang bernama Jero Jempiring juga ikut ambil bagian dalam pertempuran besar melawan Belanda. Bersama pasukan wanita pemberani, ia bertugas untuk mempertahankan tempat-tempat suci.
“Puputan Jagaraga atau Perang Bali III menjadi salah satu pertempuran terbesar di Pulau Dewata pada era penjajahan Belanda,” katanya. Belanda sempat kerepotan menghadapi pasukan Kerajaan Buleleng yang dipimpin I Gusti Ketut Jelantik. Akhirnya, mereka menemukan cara menaklukkan Bali. Ambisi Belanda pun terwujud pada 1849.
Belanda mengerahkan ribuan serdadu yang sebagian besar prajuritnya berasal dari kalangan pribumi sendiri. Namun, I Gusti Ketut Jelantik menerapkan strategi pertahanan yang amat ampuh, ditambah serangan-serangan sporadis yang membuat Belanda kewalahan.
Peran Patih Jelantik bersama istrinya sangat vital. Selain bertindak sebagai panglima perang tertinggi, ia juga ikut menjalankan pemerintahan sebagai pendamping utama Raja Buleleng. Selain itu, Patih Jelantik juga langsung terjun ke lapangan untuk mengurusi pasukan-pasukan bantuan, melatih mereka, serta menyusun strategi. Ia adalah seorang juru taktik yang cerdik.
Lanjutnya, diskusi yang lebih banyak berbagi pengalaman, penelitian dan solusi ini diharapkan setidaknya wadah untuk memperkuat perempuan Bali dalam menghadapi permasalahan saat ini.
Di Bali khususnya dan di Indonesia umumnya, telah banyak perempuan tangguh dengan posisi sebagai pemimpin, dan Indonesia sudah berada pada jalur yang benar dengan tetap mengakui dan menerima peranan penting perempuan dalam pembangunan bangsa sebagaimana yang sudah berjalan selama ini. Ke depannya, upaya untuk mengatasi kesenjangan gender lebih lanjut bukan hanya merupakan hal yang benar untuk dilakukan oleh perempuan, melainkan juga menjadi kebijakan yang baik untuk mempercepat pemulihan ekonomi saat ini. (Aya)