
Denpasar, Spotbalinews.com-
Untuk menekan laju inflasi, Kepala Kantor Perwakilan (KPw) BI Provinsi Bali Trisno Nugroho bersama Wakil Gubernur Bali Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace) didampingi Wakil Wali Kota Agus Arya Wibawa, Sekda Kota Denpasar IB Alit Wiradana, Kadis Perindag Bali Wayan Jarta, serta pejabat lainnya berkunjung serta memantau harga ke Pasar Badung, Selasa (31/1/2023).
Menurut Kepala Kantor Perwakilan (KPw) BI Provinsi Bali Trisno Nugroho, darl hasil pantauannya, harga cabai fresh saat ini cukup tinggi. “Ada yang jual Rp 45.000 per kilogram ada juga yang di atas Rp 50.000. Kondisi ini akan mendongkrak laju inflasi di Bali,” katanya.
Untuk menekannya, Trisno melihat cabai kering menjadi salah satu alternatifnya. “Harga cabai kering jauh lebih murah tetapi dari tingkat kepedasannya sama dengan cabai fresh. Jika ini bisa disosialisasikan, kami yakin inflasi akibat cabai bisa ditekan semaksimal mungkin,” katanya.
Dia melihat, masyarakat Bali sangat menyukai cabai rawit ketika membuat masakan. Jika cabai fresh mahal, ayo gunakan cabai kering. Cabai jenis ini dari segi harga jauh lebih murah tetapi juga sama pedas. “Karena itulah ayo beli cabai kering, gak harus cabai yang fresh,” jelasnya.
Ditanya mengenai target inflasi di Bali, Trisno Nugroho menyatakan target inflasi sesuai arahan Presiden adalah 3 plus minus 1. “Saat ini kita masih 6,2 persen. Kita lihat di Januari semoga bisa kita terus dorong ke bawah, operasi pasar tetap dijalankan. Kita imbau masyarakat bisa beli di luarlah supaya harganya juga bisa terkenali,”imbuhnya.
Dia melihat pasokan seperti cabai, bawang merah dan bawang putih cukup tersedia. Cuma masalahnya, keterjangkauan harga ini masih menjadi kendala. Distribusi di antara kabupaten/kota di Bali walau dekat masih terjadi perbedaan harga yang sangat tinggi. Misalnya produk di Klungkung dengan di Denpasar.
Trisno Nugroho menambahkan bahwa pihaknya bukan ingin menurunkan margin harga, namun menyelaraskan agar semua pihak tidak dirugikan.
“Harga yang kita lihat bervariasi, yang penting petani tetap diuntungkan dan senang, masyarakat membeli tidak terlalu mahal lah. Kita tidak mau menurunkan tapi masyarakat senang, tetap bertanam, dan pedagang untung sewajarnya,” tandas Trisno Nugroho.

Sementara itu, Wakil Gubernur Bali Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati menyampaikan rencana strategi baru dalam pengendalian harga di pasar, yaitu menggunakan peran pasar induk. “Saya dengar ada pasar induk yang sudah mulai berperan. Role model kita adalah DKI Jakarta, dia tidak punya sawah tapi kenapa dia bisa mengendalikan, karena pasar induk berperan luar bisa,” katanya.
Wagub yang akrab dipanggil Cok Ace itu menjelaskan bahwa dengan adanya pasar induk, maka pemotongan harga dapat dilakukan di sana, sementara jika tidak, maka margin harga antarkabupaten/kota akan berbeda jauh seperti saat ini. “Untuk mengendalikan harga, saya kira kebutuhan kita adalah pasar induk. Bali kan enak satu pulau lebih gampang, dibandingkan kota-kota besar di DKI Jakarta tidak punya sawah dan ladang, tapi dia bisa kendalikan,”jelasnya.
Pihaknya mengungkapkan bahwa meskipun hingga kini pihaknya juga masih belum menentukan lokasi untuk pasar induk di Bali. Untuk saat ini, berdasarkan pantauannya di Pasar Badung, Denpasar, Cok Ace melihat ada margin yang cukup jauh terhadap harga barang antarkabupaten/kota, salah satunya cabai rawit sebagai harga paling menonjol.
“Ada yang harganya (cabai rawit) sekarang Rp40 ribu, ada yang dapat operasi capai Rp35 ribu, sementara di pasar Rp41 ribu-Rp45 ribu. Ada margin sangat jauh karena kurang komunikasi,” katanya.
Maka itu, lanjutnya, jika strategi pasar induk dapat dijalankan maka masalah informasi dan komunikasi harga, distribusi hingga ketersediaan stok dapat terselesaikan. “Buktinya cabai di sini datang dari Klungkung dan Karangasem, ternyata di sana lebih tinggi inflasinya daripada di Denpasar. Karangasem 10 persen inflasinya, kalau di Denpasar masih lebih rendah, artinya ada mekanisme informasi yang belum jalan secara baik,” tuturnya.
Dia berpendapat, masalah informasi dan komunikasi antardaerah yang kurang tersebut yang saat ini masih dicari tahu penyebabnya oleh Pemprov Bali.
Sementara itu, ujar dia, pasar murah masih akan tetap dijalani sembari mencari sumber permasalahan sehingga adanya margin harga yang cukup jauh. “Kita cari ke mata rantainya, kita potong mata rantainya, banyak yang cari untung karena mata rantainya panjang. Masyarakat belinya mahal jadinya,” tandasnya. (Aya)