Gianyar, Spotbalinews.com-
Demi memperkuat pondasi dasar penguatan Desa Adat dalam mewujudkan pemerintahan Adat di Bali sebagaimana Visi Gubernur Bali “Nangun Sat Kerthi Loka Bali”, Desa Adat Sukawati menyelenggarakan “Pengayaan Khasanah dalam Wah-Wuh Awig2 Desa Adat Sukawati “ dengan menghadirkan Doktor Made Wena, Petajuh Bidang Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, yang dihadiri 99 orang undangan yang merupakan toko-tokoh masyarakat Sukawati yangsekiranya sudah terwakili seluruh lapisan masyarakat Desa Sukawati, pada Minggu 30 April 2023, bertempat di Pusdiklat BPR Kanti, Batu Bulan, Gianyar.
Menurut Penghulu Sabha Desa Desa Adat Sukawati yang juga menjabat sebagai Direktur Utama BPR Kanti Made Arya Amitaba, tujuan dari kegiatan ini sangat penting kendati dalam skup kecil, guna menyelesaikan berbagai hal di Desa Adat melalui pedoman tata kelola Desa Adat di Sukawati khususnya dan di Bali pada umumnya.
Amitaba menyampaikan pada hari ini dilakukan peninjauan terhadap awig awig yang perlu direvisi sesuai perkembangan kekinian.
“Di Desa Adat Sukawati bisanya dilakukan setiap lima tahun sekali yaitu meninjau, merevisi apakah sesuai dengan situasi saat ini,” ungkapnya.
Lebih lanjut dikatakan Amitaba, ketika meninjau, akan melihat acuannya sesuai dengan mekanisme dan fokus perhatian dari MDA.
“Kita ingin mendekatkan satu sama lain masyarakat yang ada di Sukawati. Harapannya ini rutin dilakukan sehingga masimakrama dapat dilakukan mewujudkan satu kesatuan tanah kelahiran kita,” jelasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Petajuh Bidang Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, Doktor Made Wena, mengungkapkan MDA adalah pengayom Desa Adat dan Krama Desa Adat. “Kami dengan tangan terbuka akan membantu segala proses dan prosedur di Desa Adat sesuai Perda 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali dan Peraturan Gubernur No. 4 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Perda 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali, dengan semangat mengembalikan tata pelaksanaan Ngadegang Bandesa Adat/Kelian Adat/atau Sebutan lain di Desa Adat sesuai dengan Desa Dresta dan Kertha Samaya Desa yang berlaku di Desa Adat masing-masing di 1.493 Desa Adat di Bali,” paparnya.
Lanjutnya, Majelis Desa Adat (MDA) berdasarkan Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali, sangat menghormati keragaman yang ada di 1.493 Desa Adat di Bali. Desa Adat yang otonom, juga harus menghormati hukum negara, dari tingkat yang paling tinggi hingga peraturan di daerah, karena berada dalam bingkai NKRI.
“Jika saja Prajuru Desa Adat mau mendengarkan serta melaksanakan arahan serta berusaha mengakomodir hak-hak Krama Desa Adat, dengan semangat yang sama untuk mengembalikan Desa Drestha dan Kertha Samaya Desa, maka mestinya tidak akan ada permasalahan yang terjadi di desa adat,” jelasnya.
Lebih jauh Made Wena mengatakan, dalam paruman hari ini, pitegep awig – awig Desa Adat Sukawati perlu dicermati, apakah awig awig Desa Adat Sukawati yang dipasupati tahun 1991, ada poin yang tidak sesuai dengan perkembangan jaman saat ini atau apakah ada aturan yang bertentangan (bukan yang belum diatur). Jika ada yang bertentangan maka harus cepat dilakukan proses perbaikan agar tidak menjadi masalah.
“Jika belum diatur maka lebih baik diatur dalam pararem pangele. Nanti kalau suatu saat di-awig-awigkan, baru tulis dalam awig-awig. Pandangan kami saat ini buka. paruman untuk wah wuhin tapi mitegepin (melengkapi) dari awig-awig yang sudah ada, sehingga outputnya bisa dalam bentuk pararem panyahcah, pangele,” sarannya.
Hukum adat di Bali dari dulu sampai sekarang belum ada kepastian yang disepakati namun dari tahun 1986 Pemda Provinsi Bali lewat majelis pembina lembaga adat mendorong setiap komunitas adat terutama desa adat membuat awig -awig (hukum adat tertulis). Hukum adat ini disebut awig awig yang di dalamnya memuat tentang desa dan drestanya.
Made Wena menegaskan bahwa dalam proses pemutusan awig – awig di Bali dilakukan secara sekala dan niskala. Yaitu, secara sekala disepakati oleh seluruh krama dan secara niskala, awig awig tersebut dipasupati. “Ini adalah proses bersepakat secara niskala terutama pada Ida Bhatara yang malinggih di desa adat sehingga pelanggaran terhadap awig – awig, sanksi tertingginya berhadapan dengan Ida Bhatara,” tandasnya.(aya)