Denpasar, Spotbalinews.com-
PT Bali Turtle Island Development (BTID) kabarnya tengah merencanakan pembangunan Pelabuhan Marina di Pulau Serangan, Denpasar Selatan, Denpasar.
Namun, rencana ini berdampak pada ekonomi para nelayan Serangan, dan tidak hanya itu, setiap harinya terjadi pengerukan atau penyedotan pasir yang dilakukan oleh 10 kapal tongkang. Padahal sebelumnya, BTID sudah mendapat sororan, karena telah mengajukan izin untuk Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) agar bisa menguasai laut dan pantai termasuk darat Pulau Serangan secara penuh.
Rencana PKKPRL yang diajukan mengelilingi pulau Serangan itu, akan mencaplok kedaulatan masyarakat di Desa Adat Serangan. Karena itu, pengerukan pasir untuk membangun Pelabuhan Marina di Serangan dikeluhkan oleh Usman, salah satu warga Serangan yang bekerja sebagai nelayan dan peternak. Dia mengungkapkan keprihatinannya terkait dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh proyek tersebut akan sangat merugikan warga lokal. Terlebih lagi, pengerukan pasir ini dilakukan oleh 10 kapal tongkang.
Usman belum lama ini, menyoroti bagaimana pembangunan pulau ini menyebabkan perubahan signifikan dalam lingkungan dan kehidupan sehari-hari masyarakat lokal. Selain itu, kata dia pengerukan pasir ini juga telah berdampak pada kualitas air di sekitar Sanur hingga Nusa Dua. Airnya menjadi keruh, dan orang-orang yang mencari ikan gurita juga menghadapi kesulitan karena terdapat penimbunan lumpur.
Usman menggambarkan bahwa aktivitas pengerukan ini berlangsung secara aktif, dengan kapal tongkang yang terus mengangkut material hasil kerukan. Lumpur yang dihasilkan dibuang di dekat pulau, yang mengganggu kehidupan laut dan biota di sekitarnya. “Hasil kerukan dibuang sampai sekarang, selama pengerukan di pelabuhan pendalaman ya masih, masih aktif kapal tongkang yang mengangkut material, malam biasanya buangnya ke berapa mil, buang jauh, ini deket deket pulau,” ungkapnya.
Dia juga menyebutkan bahwa biaya sewa kapal untuk mancing telah meningkat hingga mencapai Rp800 ribu yang menyebabkan konflik antara pemancing.
Ia merasa bahwa meskipun proyek pembangunan ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ekonomi daerah, masyarakat lokal justru merasa kesulitan dan terhambat dalam melakukan aktivitas mereka. Kendala yang dihadapi oleh nelayan lokal yang mencoba mencari nafkah di laut kata dia saat ini mereka menghadapi berbagai pembatasan, seperti penyitaan KTP dan pemeriksaan sepeda motor mereka.
Seperti dirinya yang mengaku mengalami kesulitan dalam mencari pakan untuk ternaknya di dalam kawasan KEK. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Pulau Serangan yang dibangun oleh PT BTID kini rencananya mereka akan membangun proyek Pelabuhan Marina di Pulau ini (Wids Modestys). Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Pulau Serangan yang dibangun oleh PT BTID kini rencananya mereka akan membangun proyek Pelabuhan Marina di Pulau ini (Wids Modestys). Usman menekankan bahwa meskipun dia mendukung program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan perkembangan desa, penting untuk memastikan bahwa perkembangan ini tidak merugikan masyarakat lokal.
Dia mengungkapkan bahwa sebelumnya dia telah mengusulkan pembuatan akses khusus untuk nelayan, tetapi kebutuhan ini belum terpenuhi. Dampak dari proyek BTID ini terasa sangat signifikan bagi masyarakat Serangan, termasuk para nelayan dan peternak. Mereka berharap ada solusi yang dapat mendukung perkembangan daerah mereka tanpa mengorbankan mata pencaharian dan kualitas lingkungan.
Di lain sisi, Ketut Sudana salah satu nelayan asal Serangan belum lama ini, juga mengutarakan supaya ke depan ada akses melintas untuk melaut para nelayan Serangan. “Saya ini sebagai nelayan, mari kita bersatu masyarakat semua. Jangan nge-blonk-blonk dengan masyarakat tertentu, saya hanya ingin akses jalan masuk melaut saja,” tegasnya. Sementara itu, I Nyoman Turut sebagai Kepala Lingkungan (Kaling) Banjar Tengah Serangan mempertanyakan semasih PT BTID belum bergerak membangun, apakah masyarakat Serangan tidak dapat masuk dan mencari makan di sekitar areal perairan?
“Masyarakat sekarang butuh kepastian, supaya tidak terkena hukum Pak. Masyarakat ingin tentunya maju, apalagi Pulau Serangan ini airnya mengalami masalah tidak jernih. BTID juga supaya memiliki kebijakan, terlebih warga masyarakat kami didominasi sebagai nelayan. Siapapun yang berkepentingan di Serangan, mari bergandengan tangan,” katanya.
Secara terpisah, Kepala Komunikasi dan Hubungan Masyarakat PT BTID, Zakki Hakim menegaskan BTID sebagai Badan Usaha Pembangun dan Pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kura Kura Bali berusaha meluruskan kekeliruan pada pembayaran Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Selain itu dikatakan, masyarakat sebagai nelayan tradisional tetap bisa berkegiatan seperti biasa. Kecuali, nelayannya berubah menjadi badan hukum atau badan usaha. Ia juga menepis isu miring terkait permasalahan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL), dimana dikabarkan BTID berkeinginan menguasai wilayah laut dan Pulau Serangan secara keseluruhan.
“Jadi tidak benar dikatakan adanya pengaturan dan pembatasan akses masuk masyarakat nelayan tradisional. Justru Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) itu adalah aturan yang datang dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),” ungkap Zakki kepada wartawan. Selain itu, Zakki menegaskan bahwa pengajuan PKKPRL tersebut adalah untuk pengusahaan ruang laut, bukan penguasaan ruang laut.
“Masyarakat nelayan tradisional seharusnya tidak terdampak dari kebijakan pemerintah ini, karena kebijakan ini diarahkan agar pemerintah pusat dapat menarik PNBP dari para pengusaha, badan usaha atau badan hukum yang melakukan kegiatan ekonomi di ruang laut, dan tidak menarik PNBP dari nelayan,” pungkasnya.
Perlu diketahui, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memperketat aturan main dalam pemanfaatan Pulau-pulau Kecil di Indonesia. Salah satunya, melarang penguasaan pulau secara utuh. Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, KKP, Muhammad Yusuf menegaskan bahwa investor tak dapat menguasai satu pulau secara utuh.
Hal ini tertuang dalam Pasal 11 Peraturan Presiden No.34 Tahun 2019, Pasal 10 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.8 Tahun 2019 serta Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No.17 Tahun 2016. Namun sayangnya aturan terbaru itu, nyatanya tidak akan digubris atau diikuti oleh PT Bali Turtle Island Development (BTID) yang mengelola lahan reklamasi Kura Kura Bali seluas 498 hektar di Pulau Serangan, Denpasar yang dampaknya sudah tidak harmonis dengan warga Desa Adat Serangan.
Kabarnya, BTID telah mengajukan izin untuk Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) untuk menguasai laut dan pantai termasuk darat Pulau Serangan secara penuh. Rencana PKKPRL yang diajukan mengelilingi pulau Serangan itu, akan mencaplok kedaulatan masyarakat di Desa Adat Serangan. Padahal sesuai aturan yang ditetapkan Pemerintah dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil paling sedikit 30 persen dari luas pulau dikuasai langsung oleh negara, paling banyak 70 persen dari luas pulau dapat dimanfaatkan pelaku usaha, dan pelaku usaha wajib mengalokasikan paling sedikit 30 persen dari luasan lahan yang dimanfaatkan untuk ruang terbuka hijau. (Ist)