Denpasar (Spotbalinews) –
Pencegahan dan Penanggulangan penyakit HIV-AIDS terkesan kurang mendapatkan perhatian belakangan ini, ditengah fokus dunia menghadapi serangan pandemi COVID-19 yang semakin meluas. padahal AIDS tetap merupakan permasalahan serius yang harus ditangani juga secara serius. Untuk itu, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali menggelar pertemuan Penguatan Kelompok Jurnalis Peduli AIDS (KJPA), Senin, (21/06/2021) di Gedung KPA Propinsi Bali, Jl Melati, Denpasar, dengan menghadirkan narasumber dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Dr Gede Agus Suryadinata, serta didampingi Pengelola Program Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Yahya Anshori dan
Ambara.
Menurut Dr Gede Agus Suryadinata, saat ini fenomena HIV-AIDS di Bali memang unik. “Banyak hal yang terjadi di lapangan dalam pelaksanaan program. Salah satunya adalah obat banyak tapi ada beberapa orang klien yang belum mau mengkonsumsi ARV secara rutin,” ujarnya.
Pihaknya mengimbau orang dengan HIV/AIDS rutin menjalani pengobatan menggunakan anti-retroviral (ARV). Karena ketika seseorang masuk stadium HIV tapi tidak diobati maka akan meningkat jadi stadium AIDS, sehingga menjadi parah bisa berujung pada kematian.
Katanya, stok ARV saat ini mencukupi dan aman hingga akhir 2021, dan stok baru datang pada periode tahun baru yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan di kabupaten/kota serta provinsi.
Dr Agus menjelaskan, meskipun saat ini tampaknya HIV sudah terkendali dengan estimasi ODHA sebanyak 25.996 orang di Bali, namun bila kita lengah tidak mustahil dapat terjadi lonjakan hingga merebak lagi menjadi pandemi AIDS seperti di era 1980-an. Untuk itulah pihaknya menggelar acara ini kepada kaum Jurnalis untuk mensosialisasikan ke masyarakat untuk lebih mengenal lebih dalam seputar virus HIV.
Dijelaskan, HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh dan AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah kondisi dimana HIV sudah pada tahap infeksi akhir. “Ada beberapa tahapan perkembangan infeksi oleh virus HIV pada tubuh manusia, antara lain tahap 1, tahap 2, dan tahap 3,” jelasnya
Pada tahap 1, umumnya seseorang yang terpapar virus HIV tidak akan langsung menunjukkan gejala. Adapun gejala yang muncul hanyalah flu biasa, sehingga pada tahap tersebut tidak memiliki gejala khas. Begitu pula pada tahap 2, dimana tidak memiliki gejala, tetapi virus terus menyebar ke seluruh tubuh dan menyerang sistem kekebalan tubuh. Hal itu dapat berlangsung hingga 10 tahun bahkan lebih.
“Sedangkan pada tahap terakhir yaitu tahap 3, daya tahan tubuh turun sehingga mudah terserang penyakit, seperti demam terus-menerus, diare berkepanjangan,” katanya.
Dr Agus melanjutkan, Untuk memastikan apakah seseorang mengidap HIV atau tidak, diperlukan pemeriksaan tes darah yang idealnya pemeriksaan dilaksanakan 3 hingga 12 minggu setelah terinfeksi agar jumlah antibodi cukup sehingga terdeteksi saat pemeriksaan.
Virus HIV dapat menular melalui cairan tubuh yaitu darah (transfusi, jarum suntik, serta ibu ke anak) dan cairan kelamin (hubungan seks). Oleh karena itu, sebelum penyebaran tersebut terjadi penting untuk dilakukan pencegahan. Antara lain, tidak bergonta-ganti pasangan seks dan hindari penggunaan jarum suntik bergantian.
“Pencegahan harus dilakukan, apalagi hingga saat ini belum ada obat untuk menyembuhkan HIV, yang ada hanyalah obat untuk memperlambat perkembangan virus,” ucapnya.
Katanya, dalam masa pandemi seperti saat ini, pihaknya mengimbau ODHA untuk tetap mengonsumsi obat secara rutin dan tetap waspada dengan potensi penularan COVID-19, dengan disiplin melaksanakan protokol kesehatan yaitu memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan dengan menggunakan sabun.
Sementara, Pengelola Program KPA Provinsi Bali yang juga anggota Forum Peduli AIDS Bali, Drs. Yahya Anshori, M.Si mengatakan, melihat perkembangan HIV dari sudut biologi virus, maka dapat diasumsikan banyak yang tertular pada usia di bawah 20 tahun. Hal inilah yang menjadi kecemasan dalam penanggulangen HIV dan AIDS. Dimana pada usia tersebut, seseorang sudah pada fase seksual aktif. “Berbagai upaya pencegahan, baik melalui kondom, kampanye anti seks bebas, pendidikan di kelompok beresiko ternyata tidak mampu meredam perkembangan situasi ini. Belum lagi ketika kita melihat situasi social masyarakat jamen milenia’, dimana teknologi menjadi tumpuan utema dalam mencari informasi,” katanya.
Selama ini, kata dia, pencegahan lebih banyak mengambil populasi kunci pekerja seks, pengguna narkoba suntik, pelanggan, warga binaan, dan para waria dan gay. Ternyata, kini sudah mulai ada kecenderungan perubahan. “Forum peduli HIV/AIDS Bali punya analisis baru, keluarga juga penting menjadi pencegahaan di hulu,” kata Yahya Anshori.
Yahya menambahkan, peran KPA dan jurnalis memang sangat strategis untuk program Penanggulangan AIDS di Bali, seperti mengkoordinasikan, mensinkronisasi program, memfasilitasi dan mengadvokasi stakeholder. (Aya)