Mangupura (Spotbalinews) –
Atas penetapan Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD sebagai tersangka terkait sengketa aset milik Universitas Udayana (Unud), atas sangkaan menggunakan surat palsu oleh Penyidik Bareskrim Polri, serta untuk kepentingan hukum Unud dalam penyelamatan aset seluas 2,7 Ha, Universitas Udayana telah melakukan upaya hukum yakni meminta perlindungan hukum ke hadapan Presiden Republik Indonesia dan Kemenko Polhukam Republik Indonesia yang turut ditembuskan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi RI.
Demikian pernyataan resmi Rektor Universitas Udayana yang disampaikan Juru Bicara Unud Dr. Senja Pratiwi saat konferensi pers, Selasa (12/4/2022) di Gedung Bangsa Kampus Jimbaran, Badung. Hadir mendampingi Tim Hukum Universitas Udayana sebagai Penanggung Jawab Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Dr. Putu Gde Sumertayasa, S.H., M.Hum., Ketua Tim Ahli Bidang Hukum Unud Dr. I Nyoman Suyatna, S.H., M.H., Wakil Ketua Tim Ahli Bidang Hukum Unud sekaligus juga Tim Kuasa Hukum Dr. I Nyoman Sukandia, S.H.,M.H., anggota Tim Ahli Bidang Hukum I Nyoman Darmada, S.H., M.H., dan I Nyoman Putra, S.H.
Lebih lanjut, Jubir Unud menyampaikan, upaya hukum yang dilakukan Universitas Udayana atas penetapan Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD sebagai tersangka pada 2022 ini sebagaimana disangkakan dalam Pasal 263 ayat 2 KUHP yakni menggunakan surat palsu karena justru sangat kontradiktif, dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
‘’Tindakan beliau (Prof. Bakta, red) selaku rektor memberikan surat kuasa kepada tim hukum untuk mewakili Universitas Udayana sebagai pihak tergugat di depan persidangan, adalah kewajiban sebagai wujud pertanggungjawaban formal yang melekat dalam jabatan rektor terhadap institusi dalam penanganan kasus gugatan adalah telah sesuai dengan salah satu tupoksi dalam menjalankan jabatan sebagai rektor,’’ papar Dr. Senja Pratiwi.
Sampai saat ini belum ada dokumen atau surat palsu yang digunakan oleh Unud dalam hal menunjukkan dan mempergunakan bukti formal yang dimiliki oleh negara (Universitas Udayana), tanpa terkecuali dokumen surat peryataan penyerahan hak dan pembayaran ganti kerugian yang dimiliki Universitas Udayana yang kini disita oleh Bareskrim Polri.
Diungkapkan, I Pulir semasa hidupnya dan pascamenerima ganti kerugian dari negara, yakni di tahun 1982-1983 hingga meninggalnya di tahun 2002, belum pernah mempersoalkan perihal proses ganti rugi yang diterimanya, dan tidak pernah pula melapor kalau sidik jarinya dipalsu oleh panitia bentukan Pemerintah Provinsi tersebut. Karena satu-satunya orang yang memiliki kapasitas secara hukum untuk melaporkan pemalsuan cap jempolnya adalah I Pulir seorang, dan itupun kalau dia masih hidup dan benar-benar mengalami peristiwa kalau cap jempolnya dipalsu.
Jubir Unud juga membeberkan bahwa tidak pernah ada seorang terpidana sebagai akibat adanya tindakan pemalsuan bukti yang disebutkan palsu tersebut yang mendasarkan keputusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Tidak pernah ada status hukum atas keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan yang menyatakan bahwa bukti yang disita oleh penyidik Bareskrim tersebut adalah dipalsukan.
‘’Tidak mungkin pula ada salah satu transaksi pelepasan ganti rugi dipalsukan, oleh karena di tahun 1982-1983 tersebut di mana pada saat pelaksanaan pemberian ganti kerugian dilakukan secara kolektif dan kolegal, baik dari sisi panitia maupun seluruh masyarakat yang dijalankan secara bersama-sama dan di bawah pengawasan panitia yang kesemuanya adalah pejabat dari tingkat tertinggi (gubernur) sampai pada tingkat terendah (kepala dusun), demikian juga terhadap I Pulir yang sudah menerima secara baik pemberian ganti kerugian tersebut,” ujarnya.
Jubir menegaskan, bundel surat pernyataan penyerahan hak milik atas tanah dengan bangunan serta tanaman yang ada di atasnya, yang dibuat dan diselenggarakan oleh Panitia Pemerintah Provinsi Bali yakni digunakan pada tahun 1982-1983, yang kini telah disita oleh Penyidik Bareskrim Polri tertanggal 17 November 2021 adalah bukti yang dibuat atau diterbitkan oleh negara dan untuk kepentingan negara, dan Unud sebagai kepanjangan tangan dari Kementerian Keuangan, telah mempergunakan bukti itu dalam bentuk pemberian atau pembayaran ganti rugi kepada seluruh masyarakat pemilik tanah, di hadapan dan bersama-sama dengan tim panitia yang dibentuk Pemerintah Provinsi Bali, yakni mulai sejak Desember tahun 1982-1983, sehingga kalau dihitung mulai sejak digunakan surat tersebut hingga sekarang, maka sudah berjalan hampir 39 tahun. Sudah barang tentu telah menjadikan status daluwarsa untuk menuntut terhadap seseorang yang dinyatakan mempergunakan surat yang kalau memang surat tersebut benar-benar palsu pula.
‘’Atas penetapan Prof. Made Bakta sebagai tersangka, serta untuk kepentingan hukum Universitas Udayana dalam hal penyelamatan aset seluas 2,7 ha tersebut, Unud telah melakukan beberapa upaya hukum, di antaranya meminta perlindungan hukum ke hadapan Presiden dan Kemenkumham yang turut ditembuskan ke KPK RI,’’ tegasnya.
Mencuatnya kasus ini, bermula pada 2011, ketika Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD sebagai Rektor Unud, ada surat pemberitahuan dari Pengadilan Negeri Denpasar, yang menerangkan bahwa Ni Keprig (istri almarhum I Pulir) dan Nyoman Suastika (putra dari Ni Keprig dan alm I Pulir), mengajukan surat gugatan kepada Universitas Udayana (tergugat) dengan objek sengketa berupa satu bidang tanah seluas 2,7 Ha yang diklaim sebagai harta warisan dari milik penggugat yang berasal dari kakeknya atas nama I Rimpuh (ayah kandung dari I Pulir). Objek sengketa berupa tanah dengan luas 2,7 Ha itu sejatinya merupakan aset yang dikuasai oleh negara (dalam hal ini Kementerian Keuangan Republik Indonesia), biaya pembebasannya dilakukan dengan anggaran yang dikeluarkan oleh negara melalui APBN. Berdasarkan hal tersebut, ada konsekuensi bagi Unud untuk menjaga aset dari gangguan-gangguan pihak lain.
Guna menghindari adanya kerugian bagi negara akibat gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat, maka Prof. Bakta selaku rektor telah memberikan surat kuasa kepada Tim Hukum Unud (Ida Bagus Rai Djaya S.H., M.H. sebagai ketua tim) untuk menghadapi gugatan sebagaimana dimaksud.
Setelah proses persidangan berjalan pada Pengadilan Negeri Denpasar, maka sengketa antara Ni Kepreg dan Nyoman Suastika sebagai penggugat dengan Unud telah diputus pada 18 Juni 2012 dengan isi putusan “Gugatan Penggugat Ditolak”. Kemudian, pada 12 Desember 2012, oleh Pengadilan Tinggi Denpasar dengan putusannya kembali menguatkan putusan Pengadilan Negeri Denpasar.
Dasar pertimbangan PT Denpasar di antaranya dalam rentang waktu 1982-1983 hingga sampai tahun 2002 pasca-menerima ganti kerugian, almarhum I Pulir tidak pernah menyampaikan keberatan apa pun dan kepada siapa pun atau dengan kata lain, perihal pemberian ganti kerugian secara kolektif kolegial tersebut sama sekali tidak ada masalah. Akan tetapi justru setelah I Pulir meninggal dunia baru ada persoalan muncul dan dipersoalkan oleh anaknya (Nyoman Suastika) dengan alasan yang bersangkutan tidak pernah membebaskan tanah yang kini dikuasai oleh Unud. Pada saat pembebasan dan pemberian ganti kerugian pada 1982-1983, bahwa Suastika masih kanak-kanak dan baru berumur sekitar 5 tahun.
Pasca-Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar tertanggal 12 Desember 2012 yang menguatkan posisi negara (Universitas Udayana) sebagai pemegang kuasa atas asset seluas 2,7 Ha, oleh Nyoman Suastika melalui kuasa hukumnya mengajukan upaya hukum kasasi pada 28 Januari 2013.
Karena menjelang akhir masa jabatan Rektor, Prof. Bakta menyerahkan kuasa tertanggal 28 Februari 2013 kepada Tim Hukum Universitas Udayana Ida Bagus Rai Djaya S.H., M.H. Namun pihak Mahkamah Agung justru membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar dan Pengadilan Tinggi Denpasar yang menguatkan posisi negara (Universitas Udayana) sebagai pemegang kuasa atas aset seluas 2,7 Ha.
Pejabat Rektor selanjutnya Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SP.PD-KEMD yang mulai bertugas sejak Juni 2013-2017. Oleh Rektor Prof. Suastika mengajukan perlawanan atas Putusan Mahkamah Agung melalui upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) pada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Upaya hukum Peninjauan Kembali akhirnya membuahkan hasil positif bagi Universitas Udayana, pada 24 Februari 2016 Mahkamah Agung secara tegas telah memutus perkara Peninjauan Kembali dan mengabulkan permohonan PK Universitas Udayana atau dengan kata lain kembali Universitas Udayana dimenangkan. Dilanjutkan dengan upaya restitusi (pemulihan hak) atau dikembalikannya aset seluas 2,7 ha tersebut kepada Universitas Udayana sudah dijalankan pada tanggal 3 Januari 2021 berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Denpasar No. 463/PDT.GPN.Dps dan saat itu jabatan rektor dijabat oleh Prof. Dr. dr. AA Raka Sudewi, Sp.S.
Namun pasca-Unud dimenangkan, justru timbul permasalahan hukum baru, yakni Penyidik Bareskrim Polri menetapkan Prof. Made Bakta selaku mantan Rektor Unud sebagai tersangka dengan sangkaan mempergunakan surat palsu. (Ist)
Sumber : www.unud.ac.id